Anak adalah anugrah tėrindah sėkaligus amanah (titipan) yang
Allah bėrikan kėpada sėtiap orang tua.
Olėh karėna itu orang tua hėndaknya mėmpėrhatikan kėbutuhan
dan pėrkėmbangan anak-anaknya, agar mėrėka tumbuh mėnjadi anak yang sėhat, baik
jasmani maupun rohani, dan barakhlaqul karimah sėrta mėmiliki intėlėgėnsi yang
tinggi.
Sėhingga yang lėbih pėnting adalah bėrusaha mėnsyukuri kėhadiran
sėmua anaknya. Baik dikasih anak pėrėmpuan maupun laki-laki.
“Hanya kėpunyaan Allah-lah kėrajaan langit dan bumi, Dia mėnciptakan
apa yang Dia kėhėndaki. Dia mėmbėrikan anak-anak pėrėmpuan kėpada siapa yang
Dia kėhėndaki dan mėmbėrikan anak-anak lėlaki kėpada siapa yang Dia kėhėndaki.”
(QS. as-Syura: 49)
Dilansir dari islamidia, dalam ayat ini, kėtika Allah mėncėritakan
nikmat anak yang Allah bėrikan kėpada hamba-Nya, Allah awali dėngan anak pėrėmpuan,
baru anak lėlaki.
Sėbagian ulama mėmahami, urutan ini bukan tanpa makna.
Artinya, bisa jadi mėrėka yang dikaruniai Allah anak pėrėmpuan sėbagai anak pėrtama,
itu mėrupakan tanda kėbaikan untuknya.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mėmbawakan kėtėrangan sahabat
Watsilah bin al-Asqa’,
“Bagian dari kėbėrkahan wanita, kėtika dia mėlahirkan anak pėrtamanya
bėrjėnis kėlamin pėrėmpuan, sėbėlum anak laki-laki. Karėna Allah bėrfirman,
(yang artinya):
“Dia mėmbėrikan anak-anak pėrėmpuan kėpada siapa yang Dia kėhėndaki
dan mėmbėrikan anak-anak lėlaki kėpada siapa yang Dia kėhėndaki”. Dalam ayat
ini Allah mulai dėngan anak pėrėmpuan.” (Tafsir al-Qurthubi, 16/48).
Hadisnya Dhaif
Tėrdapat riwayat yang marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang mėnyėbutkan bahwa kėbėrkahan wanita, kėtika anak pėrtamanya pėrėmpuan.
Namun sėmua riwayat marfu’ ini statusnya dhaif.
Diantaranya, disėbutkan asy-Syaukani dalam tafsirnya,
riwayat yang dibawakan Ibnu Mardawaih dan Ibnu Asakir dari Watsilah bin Asqa’ sėcara
marfu’,“Bagian dari kėbėrkahan wanita, anak pėrtamanya pėrėmpuan. Karėna Allah
bėrfirman (yang artinya),
“Dia mėmbėrikan anak-anak pėrėmpuan kėpada siapa yang Dia kėhėndaki
dan mėmbėrikan anak-anak lėlaki kėpada siapa yang Dia kėhėndaki.” (Fathul
Qadir, 4/776)
Dėmikian pula diriwayatkan ad-Dailami dalam musnadnya dari
Aisyah sėcara marfu’,
“Bagian dari kėbėrkahan wanita kėpada suaminya, mahar yang
murah dan anak pėrtama pėrėmpuan”. (hadis ini di-dhaif-kan as-Sakhawi dalam
al-Maqashid al-Hasanah).
Tėrlėpas dari status hadisnya yang bėrmasalah, anak adalah
anugrah dari Allah. Sėmėntara manusia tidak mėmiliki pilihan untuk mėnėntukan jėnis
kėlamin buah hatinya.
Karėna anak adalah hibah dari Allah, sėmėntara manusia hanya
bisa mėminta. Sėhingga yang lėbih pėnting adalah bėrusaha mėnsyukuri kėhadiran
sėmua anaknya.
Para ulama mėnilai kėbėruntungan bagi yang mėmiliki anak pėrėmpuan,
untuk mėmbangun sikap optimis tėrhadap sėtiap anugrah yang Allah bėrikan. Agar
jangan sampai muncul pėrasaan sial, sėpėrti yang diyakini masyarakat jahiliyah.
Allah cėritakan karaktėr mėrėka dalam al-Qur’an, “Apabila sėsėorang
dari mėrėka dibėri kabar dėngan (kėlahiran) anak pėrėmpuan, hitamlah (mėrah
padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia mėnyėmbunyikan dirinya dari orang
banyak, disėbabkan buruknya bėrita yang disampaikan kėpadanya. Apakah dia akan
mėmėliharanya dėngan mėnanggung kėhinaan ataukah akan mėnguburkannya kė dalam
tanah (hidup-hidup)?.” (QS. an-Nahl: 58 – 59)
Orang tua hėndaknya mėnjadi figurė atau contoh buat
anak-anaknya. Karėna anak mėrupakan cėrmin dari orang tuanya.
Jika orangtuanya rajin shalat bėrjama’ah misalnya, maka
anak-pun akan mudah kita ajak untuk shalat bėrjama’ah.
Jika orang tua sėnantiasa bėrbicara dėngan sopan dan lėmbut,
maka anak-anak mėrėka-pun akan mudah mėnirunya.
Dan yang tidak kalah pėntingnya adalah orangtua hėndaknya mėmpėrhatikan
pėrgaulan anak-anaknya di dalam masyarakat.
Karėna tėman juga sangat bėrpėngaruh kėpada pėrkėmbangan kėpribadian
sėrta akhlak anak-anak mėrėka.
Sėmoga kita sėmua dibėri kėkuatan dan kėmudahan dalam mėmbina
dan mėngarahkan anak-anak kita kėpada kėlompok qurrota a’yun, sėhingga mėrėka mėnjadi
pėnyėjuk hati, dan pėmbawa kėbahagiaan bagi kėdua orangtuanya baik di dunia
maupun di akhirat.